Romantisasi Hidup
Jamak kita dengar dan kita lihat apa yang disebut sebagai “romantisasi hidup”. Pada awalnya gue cukup heran dengan frasa tersebut, tetapi semakin ditelusuri lebih lanjut semakin gue antusias terhadap hal tersebut.
Kita hidup di zaman serba sulit, harga barang-barang melambung tinggi bahkan harga beras sebagai pangan pokok pun menyentuh rekornya. Institusi pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru menjadi pemeras rakyat dan memiliki menjadi jongos oligarki.
Kita hidup di zaman serba sulit, kebodohan demi kebodohan dengan tidak tahu malunya “menelanjangi diri” dan bahkan kebodohan tersebut menyebar begitu cepat menyambar-nyambar seperti petir di kala hujan.
Kita hidup di zaman serba sulit, di mana penguasa memilih untuk memberikan bantuan instan sesaat dan melestarikan kebodohan alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang termaktub dalam poin-poin tujuan bangsa Indonesia.
Kita hidup di zaman serba sulit, orang-orang yang kita perjuangkan hak-haknya justru menjadi pengkhianat atas perjuangan itu sendiri. Orang-orang yang kita harapkan pertolongannya justru berbalik badan dan berdiri sebagai oposan untuk melawan kita.
Kita hidup di zaman serba sulit, di mana kita sebagai rakyat dihadapkan dengan sesama rakyat untuk bertarung satu sama lain.
Kita hidup di zaman serba sulit, di mana akal dan perasaan pun dengan mudahnya digadaikan demi nominal yang mungkin tidak seberapa di mata sebagian besar orang.
Kita hidup di zaman serba sulit, zaman penuh kegilaan yang mana menjadi waras pun adalah sebuah prestasi yang tak terbantahkan. Maka salah satu cara untuk menjaga kewarasan tersebut adalah “meromantisasi hidup”.
Berdasarkan apa yang gue perhatikan selama ini, meromantisasi hidup sebenarnya adalah nama lain dari rasa syukur.
Meromantisasi tinggal di kos murah dan pengap karena setidaknya kita memiliki tempat untuk tinggal dan berteduh.
Meromantisasi perasaan sepi di tengah hingar-bingar kehidupan karena setidaknya kita punya waktu untuk merenung dan menyendiri.
Meromantisasi nilai akademik yang morat-marit karena setidaknya kita masih bertahan setelah badai tugas dan drama yang mendera selama kehidupan perkuliahan.
Meromantisasi kegagalan demi kegagalan dalam hidup karena begitulah kehidupan. Penuh variabel. Penuh dinamika. Bahkan justru itulah yang membuat kehidupan itu menjadi “hidup”.
Kita hidup di zaman serba sulit. Zaman yang mana menjadi gila pun bukan lagi hal tabu karena demikian kerasnya, demikian beratnya dan demikian bejatnya. Gue melihat meromantisasi hidup adalah jalan keluar, coping-mechanism, pelarian kita semua darinya. Tampaknya kita memilih menjadi abai, tetapi persetan karena sekali lagi hidup di zaman serba sulit dan zaman gila ini menjaga akal agar tetap waras dan jiwa agar tetap lurus pun adalah sebuah perjuangan besar. Maka jika harus meromantisasi hidup sepanjang hayat pun akan gue lakukan tanpa keraguan.
Semoga, semoga kita semua mampu bertahan, mampu menjaga akal, jiwa dan raga kita di tengah zaman serba sulit dan penuh kegilaan ini.