Eksil

cakrawasa.
3 min readMar 10, 2024

--

sumber: koleksi pribadi

Kemarin saya akhirnya berkesempatan untuk menonton film ini. Sepanjang film ini diputar apa yang senantiasa berada dalam pikiran dan perasaan saya adalah duka dan pilu. Film dokumenter ini memang hanya berisikan para Eksil yang menceritakan perjalanan hidupnya, tetapi sesak dan sakit yang mereka alami seakan juga turut jadi sesak dan sakit kami selaku para penonton.

Salah seorang dari mereka berkata, “Kami salah apa?” Pertanyaan singkat, tetapi begitu menusuk. Salah apa? Mereka tidak membunuh, mereka tidak menganiaya, mereka tidak melakukan korupsi dan mereka tidak merusak negeri ini, jadi apa salah mereka? Mereka tampak sebagai orang yang bebas dan merdeka, tetapi percayalah kebebasan itu bersifat semu, pikiran dan perasaan mereka terpenjara sepanjang hidupnya sejak mereka dinyatakan sebagai yang “Terbuang”.

Ah, bahkan menulis tulisan ini pun saya kesulitan karena perasaan kompleks yang saya miliki, saya tahu, saya paham, tetapi saya tidak mampu berbuat apa-apa.

Ditanyakan, “Apakah kelak mereka akan memaafkan atas apa yang terjadi pada diri mereka?”

Lantas apa jawaban mereka, sebagian besar dari mereka akan memaafkan jika pada akhirnya negara mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada mereka. Sungguh apalagi kalau bukan “Ksatria” namanya? Jika saya ada di posisi mereka kemungkinan besar saya akan memilih mendendam. Toh, itu juga hal wajar, dibuang dan disingkirkan, puluhan tahun merana karena tidak bisa kembali, apalagi yang tersisa kecuali amarah dan dendam? Tetapi, inilah mereka, orang-orang yang lebih layak dijadikan tokoh nasional karena kelapangan dan kecintaannya terhadap negara ini dibandingkan mereka yang terpilih atas dasar relasi kuasa.

Saya sedikit paham seberapa besar kerinduan dan kecintaan mereka terhadap negeri ini, tidak dengan dalam satu tindakan yang sama, tetapi masing-masing dari mereka memiliki cara yang berbeda, ada yang memilih membuat kliping untuk mendokumentasikan segala peristiwa yang terjadi di negara ini, ada yang memilih tidak menikah karena harapannya untuk kembali masih terus menyala, ada yang memilih membuka rumahnya sebagai penginapan untuk para mahasiswa Indonesia dan tempat berdiskusi, ada yang menunggu puluhan tahun baru kemudian membuat paspor kewarganegaraan lain Semuanya atas dasar kecintaan dan kerinduan terhadap negeri yang disebut “Tanah Air” itu.

Mereka yang dikirim oleh Soekarno untuk menuntut ilmu ke negeri seberang barangkali punya tujuan untuk memajukan negeri yang baru menetas itu dan menyejahterakan bangsa yang baru merdeka itu. Mereka merantau begitu jauh, beberapa turut memboyong anak-istri, beberapa sisanya meninggalkan anak-istri dan sanak-saudara. Pengorbanan yang begitu besar, tetapi apa balasan atas pengorbanan yang demikian besar itu? Ada yang harus merelakan istrinya menikah lagi karena kesulitan untuk menyokong mantan istrinya di kondisi serba sulit ini, ada yang bahkan baru berkesempatan untuk melihat anak yang tidak pernah ditemui dan dilihat sejak lahir setelah memasuki usia senjanya, ada yang melewatkan kesempatan untuk memberikan bakti dan menyaksikan penguburan kedua orang tuanya.

Rezim yang menyingkirkan dan menyebabkan sengsara itu mungkin sudah lengser, tetapi perasaan takut, cemas, dan khawatir atas keselamatan mereka senantiasa menyelimuti sepanjang hidup bahkan ada yang memilih melajang karena tidak lagi bisa mempercayai siapapun.

Selama periode panjang rezim orde baru, harapan itu masih terus menyala, mereka menahan diri untuk membuat kewarganegaraan baru karena harapan untuk kembali masih terus ada atau mungkin kalaupun sudah, percayalah semuanya hanya bersifat administratif belaka, jiwanya masihlah tetap Indonesia.

Saat rezim orde baru turun, harapan yang terus menyala itu menjadi semakin besar dan mencapai puncaknya ketika Gus Dur memerintahkan salah seorang menterinya untuk mengurus nasib para Eksil, tetapi harapan tetap menjadi harapan, semua itu hanyalah harapan semu belaka, bahkan hingga saat ini nasib mereka masih tidak menemui kejelasan. Barangkali harapan tersebut kini sudah mati atau mungkin masih ada sampai akhirnya mati sebenar-benarnya mati dibawanya ke liang lahat bersama sang jasad.

Mungkin sebagai penutup, izinkan saya bertanya,

Manakah yang lebih layak disebut sebagai Nasionalis? Mereka yang menetap di Indonesia, identitasnya Indonesia, raganya di Indonesia tetapi merusak, merugikan negara, memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin dan menyengsarakan rakyat ataukah mereka yang tidak menetap di negara lain, identitasnya negara lain, raganya di negara lain, tetapi kecintaan, kerinduan dan kasihnya tak pernah luntur terhadap tanah air ini walaupun begitu besar “dosa” kita terhadap mereka?

--

--

cakrawasa.
cakrawasa.

Written by cakrawasa.

senang bercuap-cuap ke sana dan ke mari maka selamat datang di tempat saya ber-asbun ria.

No responses yet